Minggu, 10 Oktober 2021

3.1.a.7. Demontrasi Kontekstual -Pengambilan Keputusan sebagai pemimpin pembelajaran

  1. Bagaimana Anda nanti akan mentransfer dan menerapkan pengetahuan yang Anda dapatkan di program guru penggerak ini di sekolah/lingkungan asal Anda?

Berpijak dari dasar filosofi pendidikan yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara bahwasannya Pendidikan harus menumbuh kembangkan kebudayaan. Guru sebagai seorang pamong bagi murid-murid. sementara itu murid harus diberikan ruang yang seluas-luasnya dalam upaya mengeksplorasi diri mereka.  Begitu juga saya sebagai seorang guru dalam penerapan proses pembelajaran saya harus mampu menjadi Pamong bagi murid - murid saya. Menjalankan 3 semboyan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, & Tut Wuri Handayani. Dalam pengejaran saya akan selalu berusaha untuk menerapakan Pendidikan yang berpusat pada guru dalam upaya untuk melahirkan pelajar yang berkarakter Pancasila yang Beriman dan Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa, Mandiri, Kreatif, Bernalar Kritis, Berkebhinekaan Global, & Berjiwa Gotong Royong. 

Dalam upaya untuk mewujudkan profile pelajar Pancasila ini tentunya saya sebagai seorang guru tidak bisa sembarangan dalam pengambilan sebuah keputusan baik itu yang menyangkut diri sendiri maupun murid sebagai pusat dalam pembelajaran. Langkah - langkah dalam kebijakan mengambil sebuah keputusan akan menjadi bekal yang sangat berarti bagi saya selaku CGP untuk melangkah menjadi guru yang tepat bagi murid -- muridnya.

Dalam upaya mentransfer dan menerapkan pengetahuan yang saya dapatkan di program guru penggerak ini di sekolah, saya lakukan melalui aksi nyata dan berbagi hasil dengan rekan-rekan yang lain. Selain itu saya juga berusaha melali kegiatan-kegiatan sekolah seperti rapat atau kegiatan lain seperti kumpul dengan rekan sejawat saya akan menceritan tentang ilmu yang saya dapatkan melalui guru penggerak ini.

 

2.   Apa langkah-langkah awal yang akan Anda lakukan untuk memulai mengambil keputusan berdasarkan pemimpin pembelajaran?

Guru sebagai pemimpin pembelajaran pastinya pernah mengalami dilema etika atau bujukan moral pada sebuah keputusan yang diambil saat menangani kasus murid  atau rekan sejawat  komunitas di sekolah, dengan mempertimbangan nilai benar vs benar (situasi yang terjadi ketika seseorang harus memilih antara dua pilihan diamana dua pilihan itu secara moral benar tetapi bertentangan), benar vs salah (seseorang membuat keputusan antara benar atau salah).

Saya sebagai seorang guru juga tentunya harus mampu untuk memulai memulai mengambil keputusan berdasarkan pemimpin pembelajaran. Untuk itu maka saya harus melatih keterampilan diri dalam memahami setiap masalah yang saya hadapi. Apakah itu sebuah dilemma etika atau bujukan moral. Supaya saya tepat sasaran dalam menentukan sebuah keputusan. Setelahnyaa saya harus berbagi pengetahuan ini dengan rekan - rekan sejawat, yang sudah mendapatkan persetujuan dari pimpina tentunya. Agar semua berjalan dengan lancar dan sesuai harapan.

 

3.   Mulai kapan Anda akan menerapkan langkah-langkah tersebut, hari ini, besok, minggu depan, hari apa? Catat rencana Anda, sehingga Anda tidak lupa.

Langkah-langhkah ini akan saya terapkan mulai minggu ini. Semakin awal saya berbagi maka semakin cepat praktik praktik baik ini bisa diimbaskan kepada rekan-rekan. Dan tentunya ini akan semakin berdampak pada murid.

 Adapun rencana saya susun sebagai berikut

No

Kegiatan

Waktu

1

Meminta Izin kepala sekolah

11 Oktober 2021

2

Pemaparan materi pada saat rapat

Sewaktu-waktu saat ada kesempatan/ Sesuai Izin Kepala sekolah

3

Diskusi dengan MGMP

16 Oktober 2021

 

4.   Siapa yang akan menjadi pendamping Anda, dalam menjalankan pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran? Seseorang yang akan menjadi teman diskusi Anda untuk menentukan apakah langkah-langkah yang Anda ambil telah tepat dan efektif.

Dalam melaksakan praktek baik ini banyak piihak yang saya libatkan utamanya warga sekolah

a.    kepala sekolaha sebagai fungsi control dan juga penanggung jawab penuh atas segala kegiatan sekolah

b.    Rekan-rekan guru sebagai pengawas, pemberi saran, dan juga salah satu sasaran pengimbsan pengetahuan

c.    Murid sebagai target utama dalam pelaksanaan pengajaran yang berpihak pada siswa melalui sebuah pengambilan keputusan sebagai pemimpin dalam pembelajaran

Sedangkan teman yang akan menjadi teman diskusi saya untuk menentukan apakah langkah-langkah yang Anda ambil telah tepat dan efektif adalah salah seorang rekan guru disekolah yang memiliki kretivitas tinggi atas nama I Putu metrya

 


Senin, 04 Oktober 2021

Koneksi Antarmateri

 

1. Pandangan Ki Hajar Dewantara dengan filosofi Pratap Triloka memiliki pengaruh terhadap bagaimana sebuah pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin pembelajaran diambil

Menurut Ki Hadjar Dewantara  Pendidikan adalah memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi- tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat.

Pendidikan merupakan tempat tumbuh dan berkembanganya benih-benih kebudayaan. Pendidikan juga dapat menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai- nilai kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan . Adapun Filosofi  Pratap Triloka “ Ing Ngarso Sung Tulodo , Ing Madya Mangun Karsa,Tut Wuri Handayani .“’

    • Ing Ngarso Sung Tulodo  memiliki makna  ketika menjadi pemimpin atau seorang guru harus dapat memberikan suri tauladan untuk semua orang yang ada disekitarnya.
    • Ing madya mangun karsa memiliki makna Seorang guru ditengah – tengah kesibukannyadiharapkan dapat membangkitkan semangat terhadap peserta didiknya.
    • Tut Wuri Handayani memiliki makna bahwa seorang guru diharapkan dapat memberikan suatu dorongan moral dan semangat  kepada peserta didik ketika guru tersebut berada di belakang.

Berdasarkan pada pandangan triloka inilah seorang guru harus sangat berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan agar tidak melanggar triloka ini. Dalam pengambilan keputusan seorang guru dapat menggunakan menggunakan 4 paradigma , 3 prinsip berpikir  dan 9 langkah pengujian pengambilan keputusan.

 

 

2.  Nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan suatu keputusan

Masing-masing orang memiliki nilai diri yang berbeda. Nilai–nilai yang tertanam dalam diri kita tentunya akan berpengaruh kepada prinsip– prinsip dalam mengambil keputusan. Apabila dalam diri kita sudah tertanam nilai – nilai kepatuhan ataupun nilai kejujuran maka kita tidak akan pernah mau untuk melanggar peraturan. Dengan demikian maka kita akan selalu berpikir dalam mengambil sebuah keputusan agar tidak merugikan orang lain utamanya murid kita.

 

3.  Bagaimana kegiatan terbimbing yang kita lakukan pada materi pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan ‘coaching’ (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran kita, terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah kita ambil.

Apakah pengambilan keputusan tersebut telah efektif, masihkah ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita atas pengambilan keputusan tersebut. Hal-hal ini tentunya bisa dibantu oleh sesi ‘coaching’ yang telah dibahas pada modul 2 sebelumnya.

Kegiatan terbimbing  pada materi pengambilan keputusan kaitannya dengan coaching adalah seorang coach memberikan pertanyaan– ertanyaan terbuka yang membuat coachee untuk dapat menemukan sendiri solusi dari permasalahannya. Coach tidak boleh memberikan tekanan atau indimidasi pada coachee melainkan bertugas untuk menyadarkan segala kekuatan yang dimiliki oleh coachee  sehingga dengan potensi dan kekuatan yang dimiliki mereka bisa menemukan solusi atas masalah mereka sendiri.

Pada kasusu dimana coacheenya adalah seorang guru maka untuk mengambil keputusan apa yang harus ia lakukan untuk  menghadapi permasalahannya di sekolah maka ia perlu mempelajari  4 paradigma , 3 prinsip berpikir dan 9 langkah pengujian pengambilan keputusan  agar komitmen atau rencana aksi yang akan ia laksanakan tidak salah di dalam pembelajaran siswa yang berpusat pada peserta didik.

 

4.   Bagaimana pembahasan studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika kembali kepada nilai-nilai yang dianut seorang pendidik.

Pembahasan studi kasusu ini memberikan gambaran kepada saya tentang ap aitu dilemma etika dan juga memberikan rambu – rambu dan pedoman agar guru – guru tidak terjebak dalam situasi yang sama  dan dapat bertindak secara bijak

 

5. Bagaimana pengambilan keputusan yang tepat, tentunya berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.

Pengambilan keputusan yang tepat dapat dilakukan dengan memperhatikan 4 paradigma , 3 prinsif dan 9 langkah pengujian pengambilan keputusan sehingga akan didapatkan sebuah keputusan yang tepat yeng menciftakan suasana lingkuangan yang kondusif, nyaman dan aman.

 

6.   Selanjutnya, apakah kesulitan-kesulitan di lingkungan Anda yang sulit dilaksanakan untuk menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika ini? Apakah ini kembali ke masalah perubahan paradigma di lingkungan Anda?

  • Tidak semua warga di lingkungan sekitar saya paham akan 4 paradigma, 3 prinsif dan 9 langkah pengujian pengambilan keputusan
  • Ada beberapa warga sekolah yang sulit untuk berubah dalam pengambilan keputusan dengan kata lain masih ada warga yang bersifat kaku terhadap perubahan

 7.   Apakah pengaruh pengambilan keputusan yang kita ambil ini dengan pengajaran yang memerdekakan murid-murid kita?

Pengambilan keputusan sangat berpengaruh terhadap pengajaran yang memerdekakan murid. Dapat dilihat ketika seorang guru mengambil keputusan untuk mendiferensiasikan pembelajaran dengan demikian setiap murid akan dapat terpenuhi kebutuhnnya.  Namun pada tataran pengambilan kebijakan  sekolah, Pihak  sekolah harus memikirkan matang–matang  dalam menentukan kebijakan terkait pendidikan murid.

 

8.   Bagaimana seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya

Sebagai seorang guru yang berperan sebagai pemimpin pembelajaran harus memahami paradigma pengambilan keputusan. Karena pengambilan keputusan yang dilakukan oleh seorang guru erat kaitannya dengan masa sekarang dan masa depan murid. Pengambilan keputusan yang tepat bisa mendorong anak didik kita untuk semakin maju dan berkembang sesuai denga kodrat alam dan kodrat keadaan murid. namun sebaliknya, pengambilan keputusan yang salah dapat menyebabkan murid menjadi terhambat dalam perkembangannya. Lebih buruknya lagi keputusan yang salah dapat menghancurkan masa depan murid itu sendiri.

 

9.  Apakah kesimpulan akhir  yang dapat Anda tarik dari pembelajaran modul materi ini dan keterkaitannya dengan modul-modul sebelumnya?

Kesimpulan akhir yang bisa ditarik bahwasannya kita harus paham betul bagaimana pengambilan keputusan yang tepat dalam pengajaran yang memerdekakan murid demi kebaikan mereka di masa yang akan datang.

Dalam pengajarannya seorang guru harus mampu mendiferensiasikan pembelajaran agar kebutuhan murid terpenuhi. Perlu menerapkan budaya positip di sekolah agar menciptakan siswa yang berkarakter. Selain itu, sebagai seorang guru sudah seharusnya mengubah mindset bahwa pengajaran yang dilakukan adalah bukti dari coaching . Dalam hal ini guru harus memberikan bimbingan agar murid bisa mengambil keputusan terbaik bagi kehidupannya dimasa kini dan masa mendatang.

 

 

Kamis, 29 Juli 2021

AKSI NYATA - Budaya Kreatif dalam pembelajaran

LATAR BELAKANG

Kreatif merupakan kemampuan dalam membuat atau menciptakan sesuatu konsep, gagasan, atau ide dalam memecahkan suatu permasalahan atau dengan kata lain keatif adalah suatu kemampuan seseorang dalam menciptakan hal-hal baru dengan cara-cara baru yang tidak biasa atau berbeda dari yang telah dilakukan orang lain sebelum nya

Kreatif sendiri bisa terwujud dalam berbagai hal seperti ide-ide atau gagasan, bisa juga produk berupa barang dan jasa. Orang-rang yang kreatif biasanya adalah orang-orang yang memiliki imajinasi tinggi, kemudian mudah beradaftasi, menyukai tantangan dan terkadang sering merasa bosan dengan rutinitas yang sama. Kreativitas sendiri pada dasarnya bisa ditanamkan dan dibernuk dalam diri seseorang dalam pembelajaran dikelas dengan memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk berkarya pada suatu momen tertentu yang tentunya karya-karya tersebut sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati

Kreativitas sendiri juga merupakan salah satu dari keterampilan yang harus murid kuasai diabad 21 ini. Kreativitas tidak selalu identik dengan anak yang pintar menggambar atau merangkai kata dalam tulisan. Namun, kreativitas juga dapat dimaknai sebagai kemampuan berpikir outside the box tanpa dibatasi aturan yang cenderung mengikat. Anak-anak yang memiliki kreativitas tinggi mampu berpikir dan melihat suatu masalah dari berbagai sisi atau perspektif. Hasilnya, mereka akan berpikiran lebih terbuka dalam menyelesaikan masalah.

Pada zaman sekarang ini dimana persaiangan sudah terjadi secara bebebas, bahkan seoalah batasan antar wilayah ini sudah tidak ada lagi maka sanagt perlu orang-orang yang memiliki pemikirankreatif agar mereka tidak kalah dalam persaiangan. Untuk menciftakan orang-orang dengan pemikiran kreatif inilah maka pendidikan harus membiasakan murid untuk berpikir kreatif. Kita sebagai guru jangan lagi mengikat ide-ide mereka dengan memberikan tugas yang harus dibuat dalam satu bentuk tertentu. Kita harus bisa memberikan mereka kebebasan atau kemerdekaan dalam belajar. Maka tantangan besar kita sebagai guru adalah bagaimana menjadikan kreatif itu sebagai sebuah budaya positif yang bisa diterapkan di dalam kelas dan sekolah


TUJUAN

Adapun tujuan dari kagiatan ini adalah

1.   Menumbuh kembangakan budaya kreatif murid sebagai salah satu budaya positif disekolah

2.   Murid mampu berpikir dan bertindak dengan kreatif

3.   Murid menjadi pribadi yang unggul dan memiliki daya saing diera globalisasi sekarang ini


TOLAK UKUR

Yang mejadi tolak ukur dari kegiatan ini adalah

1.   Pembelajaran dikelas mengakomodasi gaya belajar murid (auditori, visual, kinestetik) utamanya dalam pengerjaan tugas

2.   Guru menggunakan metode pembelajaran yang merangsang kreatifitas

3.   Murid membuat tugas berdasarkan pada pemikiran mereka (tidak mencontek atau menjiplak pada teman mereka)


LINI MASA

1.   Menyusun rancangan program kegiatan

2.   Berkoordinasi dengan kepala sekolah terkait aksi nyata yang akan dilaksanakan

3.   Pembuatan kesepakatan kelas

4.   Merancang pembelajaran yg merangsang kreatifitas murid,

5.   Pembiasaan memberikan kebebasan murid utk mengeksplorasi diri

6.   Evaluasi dan refleksi.


DUKUNGAN YANG DIBUTUHKAN

1.   Izin dari kepala sekolah

2.   Dukunan dari komunitas MGMP dan Guru-guru disekolah

3.   Dukungan dari murid

4.   Dukungan ide dan masukan dari warga sekolah


HASIL AKSI NYATA

1.   Pembelajaran dengan tugas sesuai gaya belajar murid yaitu berupa Gambar dan Berupa Video

2.   Rencana dan Pelaksanaan Pembelajaran dengan Model Discovery Learning

3.   Murid Membuat tugas secara mandiri berdasarkan kemampuan mereka


REFLEKSI

Sebagai guru saat mulai merancang kegiatan aksi nyata Budaya Kreatif dalam pembelajaran saya merasa penuh semangat dan membayangkan hasil yang akan didapatkan setelah penerapannya. Dengan budaya kreatif murid bisa mengembangkan kemampuannya dalam upaya menghadapai persaiangan gelobal dan menghapai era 4.0

Kebaikan yang diperoleh dari aksi nyata ini adalah murid menjadi lebih tertarik untuk belajar dan mereka bisa berpikir lebih kreatif. Selain itu murid juga bisa membuat tugas sesuai dengan kemampuan dan juga gaya belajar mereka baik itu berupa video atau gambar-gambar. Bisa juga melalui deskripsi.

Kelemahan dari kegiatan aksi nyata ini adalah karena kegiatan dilakukan secara daring dimasa pendemi ini jadi ada beberapa murid yang terkendala dengan jaringan sehingga pembelajaran tidak bisa berlangsung secara maksimal. Begitu juga dalam pengumpulan tugas berupa video murid memerlukan waktu untuk mengirim tugasnya.


PERBAIKAN YANG DILAKUKAN

Jika nanti situasi normal kembali dan tatap muka dapat dilakukan maka pembelajaran akan dilakukan secara flip learning, sehingga bisa mengantisipasi kendala yang muncul saat pembelajaran daring seperti susah mengikuti pembelajaran dan juga mengumpul tugas


DOKUMENTASI KEGIATAN


Pembelajaran Dengan Model Discovery




Gambar Sistem Reproduksi (Karya Murid)

Gampar Video tentang Sistem reproduksi (Karya Murid)













Minggu, 01 Mei 2016

KISI-KISI

Silahkan Klik Link di bawah ini untuk Melihat Kisi Kisi Soal UKK TIK semester 2
Download Here

Jumat, 15 Agustus 2014

Contoh Proposal Usaha
Silahkan dowload via 4share.
DOWNLOAD DISINI

Sabtu, 04 Mei 2013

Standar Pengembangan Profesional untuk Guru Sains Indonesia



Pengembangan Profesionalisme Guru
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Memperhatikan kualitas guru di Indonesia saat ini yang memang jauh berbeda dengan dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar- standar pengembangan profesi guru yaitu;
  1. Standar pengembangan profesi A merupakan pembelajaran sains melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam.
  2. Standar pengembangan profesi B merupakan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Mereka juga memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap pengembangan.
  3. Standar pengembangan profesi C merupaka pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar.
  4. Standar pengembangan profesi D yaitu program-program profesi untuk guru sains harus koheren dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.
Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru seperti yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia akan semakin membaik. Selain memiliki standar profesional guru seperti yang diuraian di atas, di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal yaitu:
1.      Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya,
2.      Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa,
3.      Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui evaluasi,
4.      Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya,
5.      Guru sekiranya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Arifin (2000) mengemukakan bahwa guru Indonesia yang profesional harus memenuhi beberapa syarat yaitu:
  1. Dasar ilmu yang kuat sebagai pesnyesuaian terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21
  2. Penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia;
  3. Pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan demikian maka paradigma baru sangat diperlukan untuk dapat mencetak atau melahirkan guru di Indonesia yang professional di abad 21 ini, paradigma tersebut yaitu;
  1. Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang
  2. Penguasaan ilmu yang kuat
  3. Keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi
  4. Pengembangan profesi secara berkesinambungan.
Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.
Selain keempat dimensi di atas juga perlu dikembangkan dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru yaitu:
  1. Hubungan erat antara perguruan tinggi dengan pembinaan SLTA
  2. Meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru
  3. Program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan
  4. Meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik
  5. Pelaksanaan supervise
  6. Peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM)
  7. Melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linc and match
  8. Pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang
  9. Pengakuan masyarakat terhadap profesi guru
  10. Perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan
  11. Kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu dapat terpenuhi, maka hal ini akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang kondusif dan inovatif. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.
Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru
Kondisi pendidikan nasional kita memang tidak secerah di negara-negara maju. Baik institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian ekstra pemerintah maupun masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta, institusi yang cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat bertemunya bibit-bibit unggul yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang baik. Pekerjaan penyemaian yang baik itu adalah pekerjaan seorang guru. Jadi guru memiliki peran utama dalam sistem pendidikan nasional khususnya dan kehidupan kita umumnya.
Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya.
Akadum (1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah.
Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan oleh antara lain;
  1. Masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada;
  2. Belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju;
  3. Kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan;
  4. Kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
Akadum (1999) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru;
  1. Masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total,
  2. Rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan,
  3. Pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, 
  4. Masih belum adanya titik terang dari perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru.
  5. Masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara maksimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme para anggo-tanya.
Dengan melihat adanya faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.

Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru
Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan.
Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi. Program sertifikasi untuk guru-guru MI dan MTs telah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (Dit Binrua) melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (ADB Loan 1442-INO) yang telah melatih 805 guru MI dan 2.646 guru MTs dari 15 Kabupaten dalam 6 wilayah propinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Kalimantan Selatan (Pantiwati, 2001). Sedangkan untuk guru-guru sekolah dasar dan menengah dilakukan oleh Rektorat perguruan tinggi negeri (PTN)
Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru), dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya (Supriadi, 1998).
Selain hal itu, untuk meningkatkan profesionalisme guru juga dapat dilakukan dengan pemberian penataran atau pelatihan secara berkesinambung, agar pengetahuan guru-guru terus berkembang dan ter-upgrade.
Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru.
Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.
Dari beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas, faktor yang paling penting agar guru-guru dapat meningkatkan kualifikasi dirinya yaitu dengan menyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru. Program apapun yang akan diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru rendah, jelaslah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya guru akan mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhannya. Tidak heran kalau guru-guru di negara maju kualitasnya tinggi atau dikatakan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Dalam Journal PAT (2001) dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Di Amerika Serikat hal ini sudah lama berlaku sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika Serikat menjadi pola anutan negara-negara ketiga. Di Indonesia telah mengalami hal ini tetapi ketika jaman kolonial Belanda. Setelah memasuki jaman orde baru semua ber ubah sehingga kini dampaknya terasa, profesi guru menduduki urutan terbawah dari urutan profesi lainnya seperti dokter, jaksa, dll.
TABEL PERBEDAAN STANDAR PROFESIONALISME GURU DI INDONESIA DAN AMERIKA
NO
INDONESIA
AMERIKA
1
Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya,
Standar pengembangan profesi A
2
Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa,
Standar pengembangan profesi B
3
Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui evaluasi,
Standar pengembangan profesi C
4
Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya,
Standar pengembangan profesi D
5
Guru sekiranya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.