Sabtu, 04 Mei 2013

Standar Pengembangan Profesional untuk Guru Sains Indonesia



Pengembangan Profesionalisme Guru
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Memperhatikan kualitas guru di Indonesia saat ini yang memang jauh berbeda dengan dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar- standar pengembangan profesi guru yaitu;
  1. Standar pengembangan profesi A merupakan pembelajaran sains melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam.
  2. Standar pengembangan profesi B merupakan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Mereka juga memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap pengembangan.
  3. Standar pengembangan profesi C merupaka pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar.
  4. Standar pengembangan profesi D yaitu program-program profesi untuk guru sains harus koheren dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.
Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru seperti yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia akan semakin membaik. Selain memiliki standar profesional guru seperti yang diuraian di atas, di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal yaitu:
1.      Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya,
2.      Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa,
3.      Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui evaluasi,
4.      Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya,
5.      Guru sekiranya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Arifin (2000) mengemukakan bahwa guru Indonesia yang profesional harus memenuhi beberapa syarat yaitu:
  1. Dasar ilmu yang kuat sebagai pesnyesuaian terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21
  2. Penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia;
  3. Pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan demikian maka paradigma baru sangat diperlukan untuk dapat mencetak atau melahirkan guru di Indonesia yang professional di abad 21 ini, paradigma tersebut yaitu;
  1. Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang
  2. Penguasaan ilmu yang kuat
  3. Keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi
  4. Pengembangan profesi secara berkesinambungan.
Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.
Selain keempat dimensi di atas juga perlu dikembangkan dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru yaitu:
  1. Hubungan erat antara perguruan tinggi dengan pembinaan SLTA
  2. Meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru
  3. Program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan
  4. Meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik
  5. Pelaksanaan supervise
  6. Peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM)
  7. Melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linc and match
  8. Pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang
  9. Pengakuan masyarakat terhadap profesi guru
  10. Perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan
  11. Kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu dapat terpenuhi, maka hal ini akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang kondusif dan inovatif. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.
Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru
Kondisi pendidikan nasional kita memang tidak secerah di negara-negara maju. Baik institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian ekstra pemerintah maupun masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta, institusi yang cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat bertemunya bibit-bibit unggul yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang baik. Pekerjaan penyemaian yang baik itu adalah pekerjaan seorang guru. Jadi guru memiliki peran utama dalam sistem pendidikan nasional khususnya dan kehidupan kita umumnya.
Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya.
Akadum (1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah.
Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan oleh antara lain;
  1. Masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada;
  2. Belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju;
  3. Kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan;
  4. Kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
Akadum (1999) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru;
  1. Masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total,
  2. Rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan,
  3. Pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, 
  4. Masih belum adanya titik terang dari perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru.
  5. Masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara maksimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme para anggo-tanya.
Dengan melihat adanya faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.

Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru
Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan.
Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi. Program sertifikasi untuk guru-guru MI dan MTs telah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (Dit Binrua) melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (ADB Loan 1442-INO) yang telah melatih 805 guru MI dan 2.646 guru MTs dari 15 Kabupaten dalam 6 wilayah propinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Kalimantan Selatan (Pantiwati, 2001). Sedangkan untuk guru-guru sekolah dasar dan menengah dilakukan oleh Rektorat perguruan tinggi negeri (PTN)
Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru), dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya (Supriadi, 1998).
Selain hal itu, untuk meningkatkan profesionalisme guru juga dapat dilakukan dengan pemberian penataran atau pelatihan secara berkesinambung, agar pengetahuan guru-guru terus berkembang dan ter-upgrade.
Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru.
Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.
Dari beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas, faktor yang paling penting agar guru-guru dapat meningkatkan kualifikasi dirinya yaitu dengan menyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru. Program apapun yang akan diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru rendah, jelaslah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya guru akan mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhannya. Tidak heran kalau guru-guru di negara maju kualitasnya tinggi atau dikatakan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Dalam Journal PAT (2001) dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Di Amerika Serikat hal ini sudah lama berlaku sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika Serikat menjadi pola anutan negara-negara ketiga. Di Indonesia telah mengalami hal ini tetapi ketika jaman kolonial Belanda. Setelah memasuki jaman orde baru semua ber ubah sehingga kini dampaknya terasa, profesi guru menduduki urutan terbawah dari urutan profesi lainnya seperti dokter, jaksa, dll.
TABEL PERBEDAAN STANDAR PROFESIONALISME GURU DI INDONESIA DAN AMERIKA
NO
INDONESIA
AMERIKA
1
Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya,
Standar pengembangan profesi A
2
Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa,
Standar pengembangan profesi B
3
Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui evaluasi,
Standar pengembangan profesi C
4
Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya,
Standar pengembangan profesi D
5
Guru sekiranya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.







Guru Sebagai Pendidik dan Panutan

Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru. Beberapa istilah yang juga menggambarkan peran guru, antara lain: Dosen, Mentor dan Tutor. Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Menurut Zakiah Darajat (1992), tidak sembarangan orang dapat melakukan tugas guru, tetapi orang-orang tertentu yang memenuhi persyaratan berikut ini yang dipandang mampu
WF Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga. Dalam pembahasan ini akan dibahas mengenai guru sebagai model bagi siswanya. Peran guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai-nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.
Seorang guru adalah merupakan seorang sosok panutan bagi masyarakat, bukan saja bagi murid-muridnya, namun juga bagi rekan seprofesi, lingkungan maupun bagi bangsa ini. seorang guru adalah contoh dan suri tauladan yang baik yang merupakan pengambaran kehidupan sosial kemasyarakatan. masyarakat akan dipandang beradab bisa dilihat dari sosok guru sebagai pendidik masyarakat.
Guru sebagai model atau teladan selaras dengan salah satu teori Quantum Learning, yaitu modelling. Teori ini mempercayai bahwa seseorang memerlukan model/figur yang akan memotivasi dirinya mengidentifikasi diri seperti model atau figur tersebut. Jika seseorang telah teridentifikasi oleh modelnya, apapun yang dilakukan model akan menjadi inspirasi baginya untuk berbuat dan bertindak sesuai dengan perbuatan atau tindakan model.
Guru bagi siswa adalah model, idola, atau figur teladan. Identifikasi siswa terhadap gurunya bukan saja pada karakter kepribadiannya yang sederhana, jujur, adil, lugas, disiplin, empatik, dan sebagainya, tetapi juga pada penampilan fisik seperti cara berjalan, berpakaian, dan bersurban. Identifikasi ini terjadi karena siswa melihat langsung “teladan yang hidup”. Guru memerankan diri secara total sebagai figur panutan bagi siswa.
Guru sebagai pendidik dan panutan, yaitu:
a.       Harus mengenal tabiat dan bakat serta kemampuan siswa.
b.      Berusaha menyalurkan bakat anak sesuai dengan minatnya.
c.    Berusaha menyesuaikan anak didik sesuai dengan pergaulan dan membimbingnya menjadi warga masyarakat yang baik.
d.  Sebagai barometer nilai dan norma hidup bagi siswa, baik tingkah lakunya, tutur katanya, dan kehidupan sehari-hari.