Pengembangan Profesionalisme Guru
Menurut
para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau
kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan
bahwa profesionalisme bukan sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi
lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi
bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah
laku yang dipersyaratkan.
Memperhatikan
kualitas guru di Indonesia saat ini yang memang jauh berbeda dengan dengan
guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat
pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang
dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar-
standar pengembangan profesi guru yaitu;
- Standar pengembangan profesi A merupakan pembelajaran sains melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam.
- Standar pengembangan profesi B merupakan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Mereka juga memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap pengembangan.
- Standar pengembangan profesi C merupaka pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar.
- Standar pengembangan profesi D yaitu program-program profesi untuk guru sains harus koheren dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.
Apabila
guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru seperti yang berlaku
di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia akan semakin membaik.
Selain memiliki standar profesional guru seperti yang diuraian di atas, di
Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993
(dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru
dituntut untuk memiliki lima hal yaitu:
1. Guru
mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya,
2. Guru
menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara
mengajarnya kepada siswa,
3. Guru
bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui evaluasi,
4. Guru
mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari
pengalamannya,
5. Guru
sekiranya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Arifin (2000) mengemukakan bahwa guru Indonesia yang
profesional harus memenuhi beberapa syarat yaitu:
- Dasar ilmu yang kuat sebagai pesnyesuaian terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21
- Penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia;
- Pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan demikian maka paradigma baru sangat
diperlukan untuk dapat mencetak atau melahirkan guru di Indonesia yang
professional di abad 21 ini, paradigma tersebut yaitu;
- Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang
- Penguasaan ilmu yang kuat
- Keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi
- Pengembangan profesi secara berkesinambungan.
Keempat
aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan
ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru
yang profesional.
Selain
keempat dimensi di atas juga perlu dikembangkan dimensi lain dari pola
pembinaan profesi guru yaitu:
- Hubungan erat antara perguruan tinggi dengan pembinaan SLTA
- Meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru
- Program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan
- Meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik
- Pelaksanaan supervise
- Peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM)
- Melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linc and match
- Pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang
- Pengakuan masyarakat terhadap profesi guru
- Perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan
- Kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.
Apabila
syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu dapat terpenuhi, maka hal ini akan
mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis.
Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan
guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis
menjadi dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang
kondusif dan inovatif. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki
multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator,
transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator
(Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).
Pengembangan
profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki
tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan
teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam
era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu
melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang
berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek
kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan.
Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan
generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri
agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.
Faktor-faktor Penyebab Rendahnya
Profesionalisme Guru
Kondisi
pendidikan nasional kita memang tidak secerah di negara-negara maju. Baik
institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian ekstra pemerintah maupun
masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta, institusi
yang cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat
bertemunya bibit-bibit unggul yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang
baik. Pekerjaan penyemaian yang baik itu adalah pekerjaan seorang guru. Jadi
guru memiliki peran utama dalam sistem pendidikan nasional khususnya dan
kehidupan kita umumnya.
Guru
sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya,
karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena tidak
sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para guru
tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak
adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai
pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru
tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu
dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang
guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya
telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali
mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan
energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya.
Akadum
(1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki
mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan
beberapa pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi keguruan kurang
menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya;
(2) profesionalisme guru masih rendah.
Selain
faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru
disebabkan oleh antara lain;
- Masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada;
- Belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju;
- Kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan;
- Kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
Akadum
(1999) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme
guru;
- Masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total,
- Rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan,
- Pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan,
- Masih belum adanya titik terang dari perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru.
- Masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara maksimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme para anggo-tanya.
Dengan
melihat adanya faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru,
pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.
Upaya Meningkatkan
Profesionalisme Guru
Pemerintah
telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan
kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga
pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan
Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I
(sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna
banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan
perubahan.
Selain
diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah
program sertifikasi. Program sertifikasi untuk guru-guru MI dan MTs telah
dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (Dit Binrua)
melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (ADB Loan 1442-INO) yang telah
melatih 805 guru MI dan 2.646 guru MTs dari 15 Kabupaten dalam 6 wilayah
propinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Kalimantan
Selatan (Pantiwati, 2001). Sedangkan untuk guru-guru sekolah dasar dan menengah
dilakukan oleh Rektorat perguruan tinggi negeri (PTN)
Selain
sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan
profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru), dan KKG (Kelompok
Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam
memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya
(Supriadi, 1998).
Selain
hal itu, untuk meningkatkan profesionalisme guru juga dapat dilakukan dengan
pemberian penataran atau pelatihan secara berkesinambung, agar pengetahuan
guru-guru terus berkembang dan ter-upgrade.
Profesionalisasi
harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan
prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari
organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi
keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon
guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme
seseorang termasuk guru.
Dengan
demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab
bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang membina guru (dalam
hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.
Dari
beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas, faktor yang paling
penting agar guru-guru dapat meningkatkan kualifikasi dirinya yaitu dengan
menyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru. Program apapun yang akan
diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru rendah, jelaslah untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya guru akan mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi
kebutuhannya. Tidak heran kalau guru-guru di negara maju kualitasnya tinggi
atau dikatakan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi.
Dalam Journal PAT (2001) dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk
meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran
gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Di Amerika Serikat hal ini sudah
lama berlaku sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika Serikat menjadi
pola anutan negara-negara ketiga. Di Indonesia telah mengalami hal ini tetapi
ketika jaman kolonial Belanda. Setelah memasuki jaman orde baru semua ber ubah
sehingga kini dampaknya terasa, profesi guru menduduki urutan terbawah dari
urutan profesi lainnya seperti dokter, jaksa, dll.
TABEL PERBEDAAN STANDAR
PROFESIONALISME GURU DI INDONESIA DAN AMERIKA
NO
|
INDONESIA
|
AMERIKA
|
1
|
Guru
mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya,
|
Standar
pengembangan profesi A
|
2
|
Guru
menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara
mengajarnya kepada siswa,
|
Standar
pengembangan profesi B
|
3
|
Guru
bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui evaluasi,
|
Standar
pengembangan profesi C
|
4
|
Guru
mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari
pengalamannya,
|
Standar
pengembangan profesi D
|
5
|
Guru
sekiranya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan
profesinya.
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar