A.
Pentingnya
Pendidikan Karakter dalam Membangun Karakter Bangsa
Pendidikan
merupakan upaya nyata untuk memfasilitasi individu, dalam mencapai kemandirian
serta kematangan mentalnya sehingga dapat survive di dalam kompetisi
kehidupannya.
Pendidikan merupakan proses yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan
warga Negara Indonesia yang memiliki karakter kuat sebagai modal dalam membangun
peradaban tinggi dan unggul di segala bidang. Sedangkan karakter sendiri
merupakan struktur antropologis manusia, tempat di mana manusia menghayati
kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Dari kedua pemahaman tersebut
dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan keseluruhan dinamika
relasional antarpribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun
dari luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati kebebasannya,
sehingga ia dapat semakin bertanggung jawab atas pertumbuhan dirinya sendiri
sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka. Secara singkat,
pendidikan karakter bisa diartikan sebagai sebuah bantuan social agar individu
dapat bertumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang
lain dalam dunia.
Pendidikan harus benar-benar
ditanamkan pada setiap insan individu. Tidak hanya pendidikan yang bersifat
intelektualis tetapi juga pendidikan yang bertujuan untuk membangun dan
mengembangkan karakter individu yang bersifat positif. Struktur antropologis
ini melihat bahwa karakter bukan sekedar hasil dari sebuah tindakan, melainkan
secara simultan merupakan hasil dan proses. Karakter yang kuat dan baik akan
terbentuk jika individu tersebut mendapat proses pembelajaran dan pendidikan yang
baik (pendidikan karakter).
“Character determines someone’s private
thoughts and someone’s actions done. Good character is the inward motivation to
do what is right, according to the highest standard of behaviour, in every
situation” (Hill, 2002).
Dari pernyataan di atas dapat
dikatakan bahwa pendidikan karakter bukan hanya berurusan dengan penananam
nilai bagi seorang individu, namun merupakan sebuah usaha bersama untuk
menciptakan sebuah lingkungan pendidikan tempat individu dapat menghayati
kebebasannya sebagai sebuah prasyarat bagi kehidupan moral yang dewasa. Pendidikan
karakter juga mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu
individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan
bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu ada macam paradigma
dalam pengembangan karakter, yang pertama memandang pendidikan karakter dalam
mencakup pemahaman moral yang bersifat lebih sempit, yang kedua melihat pendidikan karakter dari sudut
pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas, terutama melihat keseluruhan
peristiwa dalam dunia pendidikan itu sendiri. Integrasi dari kedua paradigm
inilah yang kemudiam melahirkan gagasan baru tentang pendidikan karakter
sebagai pedagogi yang dikenal dengan pendidikan karakter;
Menurut Foerster ada
empat ciri dasar dalam pendidikan karakter.
1. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.2. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.3. Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.4. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Karakter
yang menjadi acuan seperti yang terdapat dalam The Six Pillars of Character
yang dikeluarkan oleh Character Counts Coalition ( a project of The Joseph Institute
of Ethics). Enam jenis karakter yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Trustworthiness, bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi: berintegritas, jujur, dan loyalb. Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain.c. Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar.d. Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan menghormati orang lain.e. Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam.f. Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.
B. Aspek Kompetensi dan Indicator
Pengembangan Karakter di Sekolah dan Perguruan Tinggi
Dalam pendidikan
pengembangan karakter, terdapat tiga aspek yang harus ditinjau, meliputi:
1. competence (kompetensi moral), yaitu kemampuan untuk menggunakan pertimbangan-pertimbangan moral dalam berperilaku moral yang efektif2. will (kemauan), yakni pilihan yang benar dalam situasi moral tertentu, biasanya merupakan hal yang sulit3. habit (kebiasaan), yakni suatu kebiasaan untuk bertindak secara baik dan benar.Berdasarkan tiga aspek tersebut kita dapat meninjau, bahwa ketiga aspek tersebut memuat kerangka pikiran sebagai berikut:1. Karakter menyangkut perilaku yang amat luas karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kerja keras, kejujuran, disiplen, mutu, maupun komitmen seseorang.2. Pengembangan karakter merupakan sesuatu yang tidak bisa dibentuk dalam jangka pendek, melainkan dapat dibentuk melalui penciptaan kultur pengembangan karakter secara bertahap.3. Menuntut kemampuan seseorang untuk mampu menentukan suatu pilihan secara tepat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan moral.
Adapun kompetensi yang ingin dicapai pada
pendidikan pengembangan karakter adalah kesimbangan antara kemampuan
intelektual yang dimiliki seseorang dengan kecerdasan emosionaldan spiritual
yang ditandai dengan kemampuan berinteraksi social dan berprilaku cerdas.
Indikator
dari pendidikan pengembangan karakter ditujukan pada kemampuan seseorang untuk
dapat menjalani kehidupan social di masyarakat. Hal ini sudah terpola dari
kebiasaan-kebiasaan yang dapat mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual
seseorang disamping kecerdasan intelektualnya.
C. Model Pengembangan Pendidikan
Karakter di Sekolah dan Perguruan Tinggi
1. Model Pengembangan Karakter di
Sekolah
Salah satu model pengembangan pendidikan karakter di
sekolah yang telah ada di Indonesia antara lain pengembangan sebuah model
Pendidikan Holistik Berbasis Karakter yang memfokuskan pada pembentukan seluruh
aspek dimensi manusia, sehingga dapat menjadi manusia yang berkarakter.
Kurikulum Holistik Berbasis Karakter ini disusun berdasarkan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) dan diterapkan dengan menggunakan pendekatan Student Active
Learning, Integrated Learning, Developmentally Appropriate Practices,
Contextual Learning, Collaborative Learning, dan Multiple
Intelligences yang semuanya dapat menciptakan suasana belajar yang efektif
dan menyenangkan, serta dapat mengembangkan seluruh aspek dimensi manusia
secara holistik.
Model pendidikan holistik berbasis
karakter ini telah dipakai oleh Departemen Pendidikan Nasional dalam proyek
pengembangan “Model Penyelenggaraan BBE (Pendidikan Berorientasi Keterampilan
Hidup) Melalui Pembelajaran Terpadu di sekolah dasar dan menengah” Direktorat
Pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar, 2002), “Model Pembelajaran
Tematis: Kelas Layanan Khusus di SD” (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah, Direktorat Pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar, 2003),
“Model Pembelajaran “Aku Cinta Indonesia” (Departemen Perindustrian dan
Perdagangan bekerja sama dengan Depdiknas, 2003) dan TOT Tingkat Nasional
“Model Pembelajaran Kecakapan Hidup Berbasis Karakter Bagi Instruktur/Pemandu
Tingkat Propinsi, 2004”. (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah,
Direktorat Pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar, 2002), “Model
Pembelajaran Tematis: Kelas Layanan Khusus di SD” (Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Taman Kanak-Kanak dan
Sekolah Dasar, 2003), “Model Pembelajaran “Aku Cinta Indonesia” (Departemen
Perindustrian dan Perdagangan bekerja sama dengan Depdiknas, 2003) dan TOT
Tingkat Nasional “Model Pembelajaran Kecakapan Hidup Berbasis Karakter Bagi
Instruktur/Pemandu Tingkat Propinsi, 2004”.
Model ini memfokuskan pada pembentukan
karakter siswa karena karakter siswa sebagai pembentuk karakter bangsa
merupakan aspek penting yang menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter bangsa
sangat tergantung pada kualitas karakter sumber daya manusianya (SDM). Oleh
karena itu karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini.
Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan
membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua
membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat
menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak
(Erikson, 1968).
Masalah yang tengah dihadapi oleh
bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan dini yang ada sekarang ini terlalu
berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan
pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal sebenarnya,
pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan.
Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi
pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak
kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”). Pembentukan karakter harus
dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving,
dan acting”.
Pembentukan karakter dapat
diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan)
yang memerlukan “latihan otot-otot
akhlak” secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat. Pada
dasarnya, anak yang kualitas karakternya rendah adalah anak yang memiliki
tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar
mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu
mengontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan
mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang
sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik di usia prasekolah merupakan
hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Thomas Lickona (1991) mendefinisikan
orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi
secara bermoral—yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku
yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia
lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles,
bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan. (Menurut
Berkowitz (1998), dikutip dari: Membangun
SDM Indonesia Melalui Pendidikan Holistic Berbasis Karakter) , kebiasaan
berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut
secara sadar (cognition) menghargai pentingnya nilai-nilai karakter (valuing).
Misalnya seseorang yang terbiasa berkata jujur karena takut mendapatkan
hukuman, maka bisa saja orang ini tidak mengerti tingginya nilai moral dari
kejujuran itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan karakter memerlukan juga
aspek emosi. Menurut Lickona (1991), komponen ini adalah disebut “desiring the
good” atau keinginan untuk berbuat baik.
Holistik berbasis karakter di
sekolahnya. Model ini memfokuskan pada pembentukan 9 pilar karakter kepada para
siswa yang dilakukan secara eksplisit, dan berkesinambungan. Selain itu,
pendidikan karakter bukanlah sesuatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, akan
tetapi berkaitan dengan seluruh aktivitas kehidupan. Karenanya program
pendidikan 9 Pilar Karakter dapat diintegrasikan ke dalam seluruh mata
pelajaran akademis. Program yang menyeluruh ini bertujuan untuk menyeimbangkan
antara hati, otak dan otot (Pendidikan Holistik). Diharapkan mereka akan
menjadi anak-anak yang berfikir kreatif, bertanggung jawab dan memiliki pribadi
yang mandiri (manusia holistik).
Penerapan konsep pendidikan holistik
berbasis karakter, dapat menggunakan metode pendidikan 9 pilar karakter. Masing
-masing tema Pilar terdiri dari berbagai macam contoh kegiatan praktis
bagi para pendidik yang terfokus pada metode: knowing the good, feeling
and loving the good and acting the good. Ke-9 pilar karakter tersebut adalah :
1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya (love God, trust, reverence, loyalty)2. Tanggung jawab, Kedisiplinan dan Kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness)3. Kejujuran/Amanah dan Arif (trustworthines, honesty, and tactful)4. Hormat dan Santun (respect, courtesy, obedience )5. Dermawan, Suka menolong dan Gotong-royong/Kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation)6. Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination, enthusiasm)7. Kepemimpinan dan Keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)8. Baik dan Rendah Hati (kindness, friendliness, humility, modesty)9. Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity)
Kurikulum Holistik Berbasis 9 Pilar
Karakter akan membantu seluruh pendidik dalam menerapkan pedidikan karakter
sepanjang tahun ajaran, yang diintegrasikan dalam seluruh disiplin ilmu. Masing
-masing aspek dari kurikulum diterapkan dengan menggunakan pendekatan Student
Active Learning, Developmentally Appropriate Practices, Integrated
Learning, Contextual Learning, Collaborative Learning, dan Multiple
Intelligences, yang dapat menciptakan pengalaman belajar yang efektif dan
menyenangkan.(Dikutip dari,
Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan Holistic Berbasis Karakter)
2. Model Pendidikan Pengembangan
Karakter di Perguruan Tinggi
Model
pendidikan pengembangan karakter pada perguruan tinggi diwujudkan melalui
penyusunan program dalam kurikulum pengembangan karakter yang sistematis dan
terintegrasi.
Untuk
mewujudkannya, dapat diadakan suatu kegiatan yang wajib diikuti, yaitu live-in di suatu desa yang banyak dari
masyarakatnya tidak berpendidikan, terutama anak-anak. Kegiatan ini dapat
dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa dari berbagai universitas-universitas
keguruan. Dalam lingkungan seperti inilah mahasiswa dapat berinteraksi secara
nyata dengan masyarakat dan menunjukkan tingkat kepedulian mereka tingkat
pendidikan masyarakat. Mahasiswa live-in di
desa tersebut selama jangka waktu tertentu, misalnya 2 minggu. Dalam jangka
waktu tersebut mahasiswa melakukan bakti sosial yang lebih diarahkan pada
pemberian pembinaan bagi anak-anak desa yang tidak berpendidikan. Setelah
kegiatan ini berlangsung hingga jangka waktu yang ditentukan, tingkat
perkembangan karakter mahasiswa dapat dilihat dari efektifitas proses pembinaan
dan pembelajaran yang dilaksanakan oleh mahasiswa kepada anak-anak. Sedangkan
pendidikan karakter ini hanya berlaku selama jangka waktu yang ditentukan,
bukan dalam jangka panjang.
Di
samping hal tersebut peranan mata kuliah pengembangan seperti: mata kuliah
kewarganegaraan, pendidikan agama maupun mata kuliah pengembangan yang lainnya,
mengambil andil yang besar dalam rangka membentuk kualitas karakter mahasiswa
yang cerdas dan berbudi pekerti yang luhur.
Secara
jangka panjang, parameter yang dapat menjadi indikator manfaat pengembangan
karakter bagi perguruan tinggi disesuaikan dengan strategi jurusan adalah
banyaknya pengabdian kepada masyarakat dan praktek profesionalitas yang
dilakukan baik oleh dosen maupun mahasiswa, lama studi, dan kemampuan menjaga
profesionalitas dalam menjalankan profesi.
D.
Pengembangan Pendidikan Karakter di Negara Lain
Sumber
yang ada menunjukkan bahwa pendidikan karakter di beberapa negara dimulai sejak
pendidikan dasar, seperti di Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Apakah
ada bukti bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara
sistematis betul-betul memiliki efek positif dalam pencapaian akademis?
Jawabannya ya. Berikut akan diberikan abstrak dari beberapa studi hasil
pendidikan karakter di Amerika dan Cina. Pemerintah Amerika sangat mendukung
program pendidikan karakter yang diterapkan sejak pendidikan dasar. Hal ini
terlihat pada kebijakan pendidikan tiap-tiap negara bagian yang memberikan
porsi cukup besar dalam perancangan dan pelaksanaan pendidikan karakter. Hal
ini bisa terlihat pada banyaknya sumber pendidikan karakter di Amerika yang
bisa diperoleh. Kebanyakan, program-program dalam kurikulum pendidikan karakter
tersebut menekankan pada experiental study sebagai sarana pengembangan karakter
siswa.
The
Monk Study. Dalam penelitiannya, Mr. Doug Monk dari Kingwood Middle School di
Humble, Texas, membandingkan evaluasi para guru terhadap murid sebelum dan
sesudah diimplementasikannya kurikulum Lessons in Character. Dalam kurikulum
yang lebih banyak mengajak murid untuk berinteraksi dalam kegiatan-kegiatan
sosial dan mengembangkan kepekaan mereka, telah memberikan dampak positif dalam
perubahan cara belajar, kepedulian dan rasa hormat terhadap para staff sekolah,
dan meningkatnya keterlibatan para murid secara sukarela dalam proyek-proyek
kemanusiaan (Brooks, 2005).
Di
negara Cina, dalam program reformasi pendidikan yang diinginkan oleh Deng
Xiaoping pada tahun 1985, secara eksplisit diungkapkan tentang pentingnya
pendidikan karakter: Throughout the reform of the education system, it is
imperative to bear in mind that reform is for the fundamental purpose of
turning every citizen into a man or woman of character and cultivating more
constructive members of society (Li, 2005). Karena itu program pendidikan
karakter telah menjadi kegiatan yang menonjol di Cina yang dijalankan sejak
jenjang pra-sekolah sampai universitas. Li Lanqing, seorang politikus dan
birokrat Cina yang mempunyai pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang
pendidikan menenkankan tentang bahayanya sistem pendidikan yang terlalu
menekankan hapalan, drilling, dan cara mengajar yang kaku, termasuk sistem
pendidikan yang berorientasi hanya untuk lulus dalam ujian. Sebagai hasilnya,
Cina yang relatif baru bangkit dari keterpurukan ekonomi, sosial, dan budaya
akibat Revolusi Kebudayaan yang dijalankan oleh Mao, bisa begitu cepat mengejar
ketertinggalannya dan menjadi Negara yang maju. Presiden Jiang Zemin sendiri
pernah mengumpulkan semua anggota Politburo khusus untuk membahas bagaimana
mengurangi beban pelajaran siswa melalui adopsi sistem pendidikan yang patut
secara umur dan menyenangkan, dan pengembangan seluruh aspek dimensi manusia;
aspek kognitif (intelektual), karakter, aestetika, dan fisik (atletik) (Li,
2005)
DAFTAR PUSTAKA
Brooks,
D. 2005. Increasing Test Score and Character Education The Natural
Connection. http://www.youngpeoplespress.com/Testpaper.pdf.
Hendra, M. Fransisca, 2003. “Identifikasi Karakter Mahasiswa Teknik Industri Universitas
Kristen Petra dan Harapan Industri Terhadap Karakter dan Non-Technical Skill Lulusan”. Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Kristen Petra 89
Kristen Petra dan Harapan Industri Terhadap Karakter dan Non-Technical Skill Lulusan”. Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Kristen Petra 89
Hill, T.A., 2005. Character First! Kimray Inc., http://www.charactercities.org/downloads/
publications/Whatischaracter.pdf.
publications/Whatischaracter.pdf.
Kartadinata, S. Mencari Bentuk Pendidikan Karakter Bangsa. http://www.google.com
Kusuma, Doni. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta: PT. Grasindo
Li, L., 2005. Education for 1.3 Billion. Pearson Education and China: Foreign Language
Teaching & Research Press.
Teaching & Research Press.
Megawangi,
R., et.al. 2005. Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan Holistic
Berbasis Karakter. Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation.
Skripsi Jurusan Teknik Industri, No: 01/0754/IND/2003, Universitas Kristen Petra,
Surabaya.
Surabaya.